Korban FEC di Tulung Selapan Tuntut Uang Dikembalikan, Pengacara Ricky : Ada 500 orang Mengadu
PALEMBANG | Sriwiayaterkini.co.id – Praktisi hukum sekaligus pengacara publik Indonesian Police Watch (IPW), Ricky MZ SH CPL mendampingi 500 orang korban Future E-Commerce (FEC) Indonesia di Tulung Selapan. Mereka menuntut uang dikembalikan oleh para mentor dan admin. Keresahan mitra FEC ini memuncak setelah ada korban yang coba bunuh diri.
Ricky mengaku, pihaknya sudah berkomunikasi dengan para korban FEC di Sumsel. “Banyak yang mengeluhkan tidak bisa menarik dana mereka,” ujarnya.
Bahkan, Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (PAKI) juga telah berkoordinasi dengan OJK dan Polda di daerah untuk langkah mitigas risiko terkait pengaduan konsumen FEC.
Selain itu, duah disusun surat Laporan Informasi (LI) ke Polda untuk meminta penindakan dan penegakan hukum di daerah bagi para pelaku pengumpul dana di daerah/mentor.
Menurutnya, ada beberapa fakta yang dapat dijadikan indikator. Pertama, bisnis yang dijalankan oleh PT FEC belum/tidak terdaftar di OJK.
Kedua, satgas PAKI (Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal), pada 6 September 2023 telah mencabut izin usaha FEC.
Pencabutan karena FEC bekerja tidak sesuai dengan izin usaha yang dimiliki dan menghimpun dana masyarakat secara ilegal. Ketiga, FEC bukan dari Indonesia.
FEC merupakan e-Commerce aplikasi yang berasal dari Amerika Serikat. Yang mana sistemnya juga berbeda, dan yuridiksi penyelesaian sengketa bisnisnya juga berbeda.
“Tunduknya mereka terhadap Indonesia juga menjadi spekulasi dalam penyelesaian hukum jika terjadi scam,” ulasnya. Keempat, tidak terdapat di Play Store.
Baca Berita Lainnya :
Advokat Ricky : Pejabat Publik di Sumsel Inisial AS Layak Jadi Tersangka dalam Kasus FEC
Walaupun terdaftar di PlayStore tidak jadi jaminan amannya sebuah aplikasi, tapi setidaknya ini juga dapat jadi indikator.
Kelima, mungkinkah bisnis FEC sebagai penghasil uang dengan cara mudah, hingga FOMO mencari peluang dengan memanfaatkan platform online tersebut.
Sebetulnya ada cukup banyak platform yang benar-benar membayar. “FEC Indonesia ini terbilang masih belum jelas, oleh karena reputasi bisnisnya belum benar-benar teruji dalam hal investasi dan lain sebagainya,” sebutnya.
Sebagai tindak lanjut dan harap masyarakat, menurutnya pihak Kepolisian tidak harus menunggu terlebih dahulu masuknya laporan polisi dari masyarakat/korban yang telah mengalami kerugian. “Ini agar tidak meluas dan menimbulkan kegaduhan dan kerugian yang lebih besar lagi,” tegasnya.
Jika ada alasan pihak FEC tidak dapat/belum bisa melakukan penarikan keuntungan karena belum bayar pajak, maka itu bohong besar. Modusnya para mitra FEC biasanya diminta setor dana lagi untuk bayar pajak agar bisa tarik keuntungan. “Itu tidak logis dan tidak ada hubungannya belum bayar pajak dengan kepentingan menarik keuntungan dari investasi,” cetusnya.
Orang-orang yang harus dipintai tanggung jawab hukum atau orang-orang yang ada dibalik FEC ini bisa saja dijerat dengan UU ITE dan atau UU TPPU (selain pidana Tipu Gelap dalam KUHP).
“Polisi harusnya sudah bisa melakukan tindakan hukum segera tanpa perlu menunggu laporan polisi dari korban terlebih dahulu atau tanpa perlu membuktikan adanya tindak pidana asalnya (predicate crime) terlebih dahulu (baca Putusan MK 77/2014),” paparnya.
Kata Ricky, kasus ini bukan delik aduan. Tapi delik biasa. Polisi dapat saja segera bergerak menindaklanjuti fenomena yang terjadi di ruang publik saat ini.
Terlebih kasus ini telah membuat gaduh di masyarakat. Jumlah korbannya pun terbilang banyak dan meluas sampai ke berbagai provinsi di Indonesia.