Marhaban Ya Ramadhan, Haruskah Kita Menyalahkan Syetan?
KH Taufik Hidayat - Kuliah Subuh di Ponpes Laa Roiba Muaraenim - Sumatera Selatan
Ilustrasi : KH Taufik Hidayat, S,Ag, M.I.Kom, sedang menyampaikan ceramah di sebuah masjid di Kabupaten Lahat, Sumsel, Februari 2025.
Pada sebuah desa di Negeri Gancala, ada sepasang suami isteri. Namanya Tuan Arona dan Puan Aruni. Rumah tangga mereka sangat rukun dan damai. Warga desa setempat, melihat keluarga ini sangat harmonis.
Para tetangga menilai, keluarga ini nyaris tak ada konflik, yang membuat tetangga ikut menyelesaikan. Menurut bahasa agama Islam, rumah tangga ini layak disebut sebagai rumah tangga yang dinaungi sakinah, mawaddah wa rahmah.

Wajar saja, kalau keluarga ini selalu tentram, tenang dan damai dalam rumah tangga. Sebab secara ekonomi, keluarga ini — meski tidak terlalu mewah, namun melihat rumah dan area halamannya– keluarga ini termasuk di kelas menengah. Dipastikan, dari sisi materi (terutama makan dan minum sehari-hari), Tuan Arona dan Aruni sudah sangat berkecukupan, bahkan lebih dari cukup.
Di rumah ini, Tuan Arona dan Puan Aruni dibantu tiga orang, namanya Bik Sum dan Bik Min. Keduanya bertugas memasak dan bersih-bersih rumah dan dapur. Sebagai penjaga rumah, ada juga Mang Giyat yang bertugas merawat perabotan rumah dan kerapian taman di halaman.
Kambing Alpinee
Tugas khusus bagi Mang Giyat, yaitu menjaga hewan kesayangan Tuan Arona, berupa seekor kambing. Namanya Kambing Alpinee. seekor kambing yang berasal dari pegunungan Alpen Swiss. Tetapi kambing ini, bisa juga dijumpai dan menyebar di hampir seluruh dataran di Eropa.
Kambing Alpinee banyak diternakkan di Amerika Serikat. Kambing Alpinee rata-rata memiliki warna bulu putih kekuning-kekuningan, hitam, coklat, kemerah-merahan atau warna tebing yang kombinatif antara warna satu dan lainnya. Postur kambing Alpinee berukuran lebih besar jika dibandingkan dengan kambing asli Swiss lainya.

Sesekali, kambing ini di lepas di luar kandang. Tetapi leher kambing tetap dalam kondisi diikat, agar kambing kesayangan Tuan Arona tidak lari kemana-mana. Sebab, bagi Tuan Arona, melukai dan kehilangan kambing kesayangannya, sama halnya telah kehilangan harga diri. Sehingga, Mang Giyat juga sangat berhati-hati menjaganya.
Cermin Kesayangan
Tugas lain yang tak kalah beratnya, Mang Giyat juga menjaga dan merawat sebuah cermin unik kesayangan Puan Aruni. Namanya cermin “Eye Hathor” sebuah cermin
yang sering dikaitkan dengan Dewi Hathor, atau Dewi Kecantikan dan Dewi Kesuburan di zaman Mesir Kuno. Meski cermin ini sudah dublikasi dari aslinya, namun modifikasi kaca dan desainnya tetap mempertahankan elemen mistis dengan pegangan berbentuk “ankh” (simbol kehidupan).

Di permukaan gagang cermin ini, ada ukiran Dewi Hathor, dan goresan hieroglif suci (sistem tulisan kuno yang digunakan oleh bangsa Mesir Kuno untuk merekam sejarah, ritual keagamaan).
Suatu kali, ketika Mang Giyat izin mengurus keluarganya di kampung, datang Syetan Laknaaullah alaihi, yang menjelma menjadi Buto Ijo menyambangi Kambing Alpinee.
Buto Ijo vs Cyclops
Dalam mitologi Yunani, Buto Ijo dipadankan dengan Cyclops, mahluk berbentuk raksasa memiliki satu mata besar di tengah dahi, seperti Buto Ijo. Salah satu Cyclops, adalah Polyphemus, yang muncul dalam kisah Odyssey dan pernah mencoba memakan manusia yang tersesat di pulaunya.
BACA ARTIKEL LAINNYA : Pastor Memberi Hadiah pada Muadzin, Mengapa?
Malam itu, Buto Ijo menghampiri kambing milik Tuan Arona. Iseng-iseng, Buto Ijo yang tercatat sebagai mahluk pengganggu hewan ternak, tiba-tiba melepas tali ikatan di leher Kambing Alpinee.
Sesaat kemudian, Buto Ijo mengubah diri menjadi ular dan menakuti kambing. Sebab, setiap hewan ternak, secara alami akan selalu waspada terhadap hewan yang berpotensi berbahaya, seperti halnya ular. Hingga dengan menjelma sebagai ular Buto Ijo bisa mengusir kambing dari kandangnya.

Padahal dalam mitos Jawa, Buto Ijo termasuk golongan raksasa gaib yang menakutkan bagi hewan ternak. Tugas pokoknya, sering membuat hewan ternak sakit, bahkan membuat mati mendadak.
menjelma sebagai ular
Tapi kali itu, Buto Ijo sedang tidak ingin Kambing Alpinee sakit atau bahkan mati. Buto Ijo hanya ingin kambing itu lepas begitu saja. Hingga dia mengejutkan kambing dengan menjelma sebagai ular.
Hewan, tetap saja hewan. Meski gerak tubuh hewan ternak juga dipengaruhi pengalaman, pembelajaran alamiyahnya dan interaksi dengan lingkungannya, namun gerak tubuh hewan ternak juga tetap digerakkan oleh instingnya.
Entah bagaimana cara masuknya, setelah lepas tali lehernya, tiba-tiba Kambing Alpinee sudah berada di ruang kamar penyimpanan barang antik di rumah itu. Di depan cermin antik“Eye Hathor” kambing ini seolah berkaca layaknya perempuan yang sedang besiuk (berdandan di depan kaca).
Kambing di cermin menjadi dua
Betapa terkejutnya kambing ini, ketika di kaca itu dirinya muncul menjadi dua. Baik Mang Giyat, atau Puan Aruni, juga Kambing Alpinee tidak mengatahui daya magis cermin warisan mesir kuno ini.
Pelan-pelan, kambing Alpinee mengendus cermin. Anehnya, ketika mengendus dan mendekatkan wajah dan mulutnya ke cermin, gambar kambing hanya tampak satu. Tetapi saat menjauh, kambing dalam cermin menjadi dua.

Saat kambing asli di depan cermin mengangkat satu kaki, dua kambing di dalam cermin itu hanya satu kambing yang mengangkat kakinya. Satu lagi, hanya berdiam diri. Tapi sorot matanya tajam melihat ke luar cermin.
Kian lama, kambing Alpinee kesal melihat kambing dalam cermin. Seolah ada dua kambing yang akan menyerang dirinya. Kejadian berikutnya, kambing Alpinee melakukan perlawanan dengan dua kambing di dalam cermin. Akibatnya, cermin kesayangan Puan Aruni pecah berantakan. Kambing Alpinee melenggang saja seolah tak bersalah.
Sementara, di rumah ini ada peraturan mutlak, siapa saja yang merusak barang-barang kesayangan, sama saja telah merusak harga diri. Hukumannya harus dibunuh atau dihancurkan. Siapapun pelakunya! Termasuk kambing Alpinee — penghancur cermin kesayangan Puan Aruni.
“Mang Giyat! Bunuh kambing itu sekarang juga!” Puan Aruni memerintah. Biasanya tak ada yang kuasa menolaknya. Tapi kali itu berbeda dengan biasanya.
Energi negatif memengaruhi bayi
Mang Giyat, tahu persis dengan peraturan di rumah itu. Spontan, Mang Giyat memutar otaknya agar selamat dari hukuman kematian.
Mang Giyat ingat dengan mitos jawa. Dalam kepercayaan Jawa, membunuh makhluk hidup, terutama saat isteri sedang hamil, dianggap bisa membawa tulah (kesialan) atau karma buruk. Diyakini bahwa darah yang tertumpah akibat membunuh hewan bisa membawa energi negatif yang memengaruhi bayi.

“Puan saja yang membunuh, saya tidak berani, sebab isteri saya sedang hamil, nanti anak saya catat, Puan,” jawab Mang Giyat memohon–sembari mencari akal untuk menghindar dari perintah. Untung kali itu Puan, bisa menghargai penolakan itu.
Tak ada jalan lain. Puan Aruni harus melakukan sendiri. Tidak berani menggunakan pisau, Puan kemudian mencari cara cepat untuk memusnahkan kambing Alpinee.
Tak ada lagi pengendalian dan logika yang bisa mengendapkan kemarahan Puan Aruni. Hari itu juga, Puan Aruni hatinya berkecamuk ingin menghabisi Kambing Alpinee. Tak peduli hewan ternak itu kesayangan suaminya.
Tuan Arona marah
Sebuah racun bertabur di rerumputan, yang kemudian masuk dalam tubuh Kambing Alpinee. Hanya dalam hitungan menit, akibat kerasnya racun, kambing kesayangan Tuan Arona menemui ajalnya. Puan Aruni tersenyum puas.
Tak ayal, tindakan isterinya ini, membuat Tuan Arona marah tak alang kepalang. Kali itu, Tuan Arona benar-benar merasa diinjak harga dirinya.
Tak disangka, keluarga yang disebut oleh para tetangga sebagai keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah, seketika berubah menjadi neraka.

Mulanya Baiti Jannati (rumahku surgaku), kali itu menjadi Baiti Naari (rumahku nerakaku). Tuan Arona benar-benar marah besar kali itu. Kesedihan dan kehilangan Kambing Alpinee sudah berbuah amarah besar. Tak peduli yang menjadi sasaran adalah isterinya. Tuan Arono benart-benar kalap (lupa diri akbiat amarah) kali itu.
Tak juga mau kalah. Mendapat serangan itu, Puan Aruni mengajak para pembantunya bersekutu menyerang Tuan Arona dengan janji kenaikan gaji dua kali lipat. Demikian juga Tuan Arona mengajak pembantu lainnya menyerang Puan Aruni, dengan harga lebih tinggi.
Pisah Ranjang
Hari berikutnya, pasnagan suami isteri sudah tidak lagi satu ranjang. Puan Aruni keluar dan mengajak keluarganya menyerang Tuan Arona dan sekutunya.
Tak mau kalah pasukan, Tuan Arona juga mengajak keluarganya menyerang balik keluarga Puan Aruni. Tak cukup dari keluarga, Tuan Arona kemudian mengajak orang se-kampungnya menyusun kekuatan untuk menghancurkan Puan Aruni dan keluarganya.
Melihat kekuatannya tidak seimbang, Puan Aruni mengajak pula warga se-kampungnya datang dan membalas serangan dari kelompok Tuan Arona.
Awalnya, hanya perseteruan internal (suami-istri), antara Tuan Arona dan Puan Aruni. Tapi kali itu, pertengkaran melebar, menjadi tawuran antar kampung. Urusannya bukan lagi anar personal (pribadi), tetapi antar komunal (kelompok). Lebih besar lagi, mengganggu sistem keamanan lingkungan (Siskamling).
Buto Ijo Hadir
Pada saat itulah, Buto Ijo, hadir di tengah konflik. Buto Ijo menjelma menjadi sosok yang arif dan bijaksana. Buto Ijo memberi nasihat dan petuah kepada warga yang bertikai, layaknya Bayu Dewa Khrisna dalam Film Mahabharata. Seperti ayah menasihati anaknya. Dua kelompok yang bertikai itu seketika redam seketika, setelah mendengarkan nasihat Buto Ijo.
“Jadi yang salah ini siapa?” tanya warga yang penasaran.
“Ndak usah saling salah!”kita salah semua!” ujar warga merasa bodoh.
“Ya, jelas orang yang melepas tali di leher kambing, yang salah!” ujar yang lain.
“Iya, tapi siapa yang melepas tali?” tanya yang lainnya.
“Giyat lah yang harus bertanggungjawab!” jawab yang lain.
“Malam itu, waktu kambing lepas, Mang Giyat, tidak ada di tempat?” tukas lainnya.
“Kalau tidak ada yang ngaku, berarti syetan saja yang salah!” tegas warga lain, yang spontan membuat marah Buto Ijo, tanpa sadar membuka kedoknya sendiri.
“Kenapa jadi aku yang disalahkan!? Aku kan cuma melepas tali di leher kambing, tidak mengajak warga bentrok!” ujar Buto Ijo tak terkendali.
“Jadi kau ini Syetan!?” bentak warga yang lain.
“Aku cuma melepas tali, tidak menghasut warga untuk saling serang!” tegas Syetan membela diri, layaknya para koruptor yang melakukan pledoi (pembelaan) di depan dewan hakim ketika di sidang pengadilan.

Jelmaan syetan
Kali itu, warga baru mengetahui, orang asing itu ternyata jelmaan dari syetan yang beralih rupa menjadi Buto Ijo. Memang, syetan hanya melepas tali di leher kambing, tetapi efeknya membuat keributan antar kampung.
Kali itu, warga baru mengetahui, orang asing itu ternyata jelmaan dari syetan yang beralih rupa menjadi Buto Ijo. Memang, syetan hanya melepas tali di leher kambing, tetapi efeknya membuat keributan antar kampung.
Dalam agama Islam, Bulan Suci Ramadhan sering dikaitkan dengan konsep “mengikat setan” sebagaimana disebutkan dalam hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah, SAW bersabda: “Jika telah datang Bulan Ramadhan maka pintu-pintu surga akan dibuka, pintu-pintu neraka akan ditutup dan syetan-syetan akan dibelenggu dengan rantai.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut hadits diatas, syetan pada Bulan Suci Ramadhan, sudah dibelenggu (diikat). Logika “diikat” sudah tidak bisa bergerak. Namun faktanya, di Bulan Suci Ramadhan masih ada diantara kita yang melakukan “tindakan syetan” baik secara tersembunyi atau secara nyata. Padahal syetan sudah dibelenggu!
Lantas, siapa yang melakukan perbuatan buruk? Masihkah menyalahkan syetan?
Dalam kisah Tuan Arona dan Puan Aruni, syetan hanya melepas tali di leher kambing. Tetapi siapa yang kemudian menimbulkan tawuran antar kampung? Sekali lagi, masihkan syetan dipersalahkan di Bulan Suci Ramadhan, sementara syetan, sejak hari pertama Ramadhan sudah diikat?

Bila di Bulan Suci Ramadhan, kita masih jumpai orang malas bekerja dengan alasan berpuasa, atau masih ada yang melakukan tindakan dan berperilaku menyimpang dari nilai-nilai agama, lantas masihkah kita akan mempersalahkan syetan?
Kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam beberapa karyanya menjelaskan, bahwa hawa nafsu dan kebiasaan manusia, bisa lebih berbahaya dari pada godaan syetan, jika tidak dikendalikan.
Demikian juga Imam Al-Ghazali menekankan dalam Kitab Ihya Ulumuddin; manusia yang terus melakukan dosa tanpa godaan syetan, berarti sudah dikuasai hawa nafsunya sendiri. Naudzubillahi min dzalik!**
Keterangan :
Tulisan ini disarikan dari kuliah shubuh KH Taufik Hidayat, S. Ag, M.I. Kom, (Pendiri dan Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim) di Masjid Julaibib Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim, Sumsel, Sabtu, 1 Maret 2025. (Penyunting & Editor Bahasa : Imron Supriyadi)