IWO Sumsel Silaturahmi ke Disbudpar, Aufa : Copy Paste Berita, Wartawan Tidak Profesional
PALEMBANG | Sriwijayaterkini.co.id — Musyawarah Bersama (Mubes) tahun 2023 IkatanWartawan Online (IWO) se-Indonesia, tinggal beberapa hari lagi. Direncanakan event akbar ini akan digelar, pada 2-3 September 2023 di Asrama Haji Palembang.
Terkait hal itu, Pengurus Wilayah (PW) IWO Sumsel melakukan silaturahmi ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sumsel, Jumat, (25 Agustus 2023), sore pukul 16.30-17.45 WIB.
Gubernur Setuju, Mubes IWO di Palembang
Pada kesempatan itu, Efran, Ketua IWO Sumsel menjelaskan, penunjukan Palembang sebagai tuan rumah secara nasional dalam Mubes IWO 2023 ini, sudah dimandatkan Pengurus Pusat (PP) IW kepada PW IWO Sumsel, yang sudah diamini Gubernur Sumsel, H Herman Deru, M.M.
“Kita banyak punya gedung dan fasilitas. Kita siap menerima para tamu dari luar Palembang, termasuk peserta Mubes IWO se-Indonesia, kita akan dukung,” ujar Gubernur, ketika memberi sambutan pada pelantikan Efran, sebagai Ketua IWO Sumsel, periode 2022-2027 oleh Ketua Umum PP IWO, Jodhi Yudhono, di Ruang Bina Praja Pemprov Sumsel, Minggu, (4 Juli 2023).
Selain rencana Mubes IWO di Palembang, kepada Aufa Syahrizal, S.P, M.Sc, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Sumsel, Efran juga menjelaskan tentang keabsahan kepengurusan IWO periode 2022-2027 yang saat ini dimpimpinnya.
Efran mengatakan, dirinya terpilih secara demokratis sebagai Ketua IWO Sumsel, melalui Musyawarah Bersama Wilayah (Mubeswil) ke-01 IWO Sumsel tahun 2023, pada Hari Minggu, 28 Mei 2023, di Hotel Luminor Palembang.
Pada Mubeswil itu, Efran berhasil memperoleh 39 suara, sementara rivalnya, Ardhy Fitriansyah, bendahara IWO periode sebelumnya (2017-2022) hanya memperoleh 30 suara.
Di akhir Mubeswil, pimpinan sidang kemudian menetapkan Efran secara resmi sebagai Ketua terpilih IWO Sumsel periode 2022-2027, yang kemudian dilantik Ketua PP IWO, Jodhi Yudono, pada Minggu, 4 Juli 2023, di Ruang Bina Praja Pemprov Sumsel. Pada pelantikan dihadiri Gubernur Sumsel, H Herman Deru, MM, Polda Sumsel, Kodam II Sriwijaya, Dinas Kominfo Sumsel dan stake holder lainnya.
Berakhlaq dan beradab
Pada kesempatan itu, mantan Ketua IWO PALI ini juga menjelaskan tentang cita-cita IWO Sumsel yang ingin mewujudkan iklim pers di Sumsel yang berakhlaq dan beradab.
Untuk mewujudkan hal itu, Efran mengatakan, perlunya kerjasama antar semua pihak, antara IWO Sumsel dengan instansi pemerintah, swasta, BUMN/BUMD dan stakeholder lainnya di Sumsel, termasuk Disbudpar Sumsel. Hal itu dikatakan agar semua pihak ikut serta mendorong terwujudnya pers yang berakhlaq dan beradab.
“Mewujudkan cita-cita IWO Sumsel membangun iklim pers yang berakhlak dan beradap, kami tidak bisa bekerja sendiri, tetapi memerlukan jalinan kerjasama dengan semua pihak, sehingga profesi wartawan, khususnya wartawan yang berada dalam naungan IWO Sumsel benar-benar menjadi wartawan yang profesional dan berintegritas dalam menjalankan profesinya sesuai kode etik jurnalistik,” tegas Efran, yang juga Owner Media Online Tintamerah.co.id.
Merespon hal itu, kepada Pengurus IWO Sumsel, pemilik nama asli Aufa Syahrizal Syarkomi ini menjelaskan tentang realitas wartawan di era kekinian.
Aufa mengaku, sedikit banyak juga ikut perihatin terhadap ulah oknum yang mengaku-ngaku wartawan yang tidak profesional. Akibatnya lembaga wartawan, seperti IWO dan lembaga wartawan lain yang bersusah payah menjaga integritas juga ikut ternoda.
Aufa mengisahkan, ada oknum wartawan yang dengan bangga mengeluarkan banyak ID-Card (Kartu pengenal) wartawan di hadapannya. Salah satu oknum wartawan ini, mengaku telah memegang banyak kartu pers dan ditunjukkan kepada Aufa. Namun, menurut Aufa, banyaknya kartu pers yang dimiliki seorang wartawan menandakan oknum tersebut bukan wartawan profesional.
“Ada saja ulah oknum yang mengaku wartawan. Untuk memastikan dirinya wartawan dia keluarkan banyak ID-Card. Saya wartawan di sini, saya juga wartawan di media ini. Terus saya bilang : semakin banyak kamu punya ID Card, semakin menunjukkan kalau kamu wartawan yang tidak profesional. Jangan kamu anggap saya ini tidak tahu tentang wartawan. Saya ini mantan reporter dan pembaca berita di TVRI Sumsel, jadi saya sangat paham dengan kerja wartawan,” ujar Aufa menjelaskan.
Saran dan usulan kepada IWO Sumsel
Kali itu, mantan guru di Kecamatan Gelumbang Kabupaten Muaraenim ini juga menyampaikan saran dan masukan kepada para wartawan, khususnya wartawan Online, yang menjadi domain IWO Sumsel.
Aufa menjelaskan, di era digital seperti saat ini tugas IWO Sumsel sangat berat. Sebab harus mendidik wartawan online yang lebih sering memilih menjadi “wartawan copy paste” dari pada harus menulis sendiri berita yang diperolehnya.
Akibat tidak melakukan reportase sendiri, menurut Aufa sering terjadi kesalahan tulis nama narasumber. Aufa mengaku, selama menjabat sebagai Kadisbudpar Sumsel, nama dirinya sering berubah-ubah di media. Hal itu terjadi, karena diantara wartawan tidak melakukan verifikasi nama atau melakukan riset di google.
“Kadang Aufa, kadang Alifa, kadang Syahrizal, kadang Alfa Shariyal, dan masih banyak lagi. Itu bukti wartawan tidak melakukan verifikasi. Tidak mau belajar dari berita yang benar yang sudah bagus. Kan bisa lihat mana nama yang benar, atau tanya langsung, kan bisa?!” ujarnya setengah menyesalkan hal itu.
Oleh sebab itu, Aufa menegaskan dalam menulis berita, wartawan harus jeli dan teliti menulis nama dan gelar seseorang. Sebab, salah menulis nama narasumber, akan sangat mengganggu psikologi narasumber.
“Wartawan harus melakukan verifikasi nama, jabatan dan gelar, sehingga berita yang ditulis benar-benar sesuai fakta. Zaman sekarang tidak ada alasan lagi mengatakan tidak tahu, sebab di internet bisa dilacak, melalui WA bisa bertanya. Tapi kalau malas, dan tidak melakukan verifikasi, atau hanya copy paste berita dari kawan lain, ya itulah akibatnya,” ujarnya setengah menyesalkan hal itu.
Wartawan yang sering melakukan copy paste, menurut Aufa tidak berbeda dengan seorang plagiator. Secara hukum, atau siapapun termasuk wartawan tidak boleh melakukan plagiat, atau melakukan copy paste terhadap berita orang lain, sementara yang bersangkutan tidak pernah wawancara dengan narasumber, atau yang bersangkutan tidak melakukan reportase sendiri.
“Wartawan copy paste karya orang lain, itu sama halnya, wartawan sedang menjadi seorang plagiator, itu bukan wartawan. Sementara dalam undang-undang yang berlaku, plagiator sangat dilarang. Plagiator orang yang mengambil karangan pendapat atau karya orang lain dan disiarkan sebagai karangan, pendapat dan karya sendiri. Itu penjiplak. Plagiator, namanya. Dan saya yakin wartawan tidak boleh melakukan itu,” tegasnya.
Menurut Aufa, wartawan sering copy paste, itu sama saja membodohi diri sendiri. Dipastikan wartawan itu tidak akan berkembang dan tidak akan berkualitas, sebab hanya mengandalkan karya orang lain.
“Bagaimana akan profesional dan berkembang dalam berkarya di dunia wartawan, kalau beritanya cuma copy paste dari wartawan lain. Ini yang ke depan perlu diluruskan, terutama bagi IWO,” harapnya.
Mengapa dikatakan tidak akan berkembang? Sebab, menurut Aufa, melalui tulisannya wartawan bisa membuka wawasannya, pola pikirnya dengan menuangkan ide dan gagasannya sesuai hasil wawancara, untuk kemudian harus menyajikan tulisan itu menjadi enak dibaca dan mencerdaskan pembaca atau pemirsa (kalau dalam TVRI).
“Tapi kalau hanya copy paste karya orang lain, bagaimana wartawan itu akan berkembang wawasannya. Modalnya hanya HP terus bertanya-tanya, kadang bertanya juga tidak tahu apa yang harus ditanyakan. Ini yang menurut saya harus menjadi tanggungjawab IWO ke depan,” ujar Aufa berpesan kepada pengurus IWO Sumsel.
Pentingnya wartawan harus mengembangkan dirinya dengan tanpa melakukan copy paste, karena menurut Aufa saat ini media atau wartawan sudah menjadi bagian penting dalam Pentahelix (multipihak).
Pada Penthahelix ini, menurut Aufa bahwa unsur yang dapat mendorong pengembangan potensi di sebuah daerah, bukan saja pemerintah, tetapi juga akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media, dalam hal ini pers.
“IWO sebagai lembaga profesi wartawan termasuk dalam Pentahelix yang kelima. Oleh sebab itu, IWO Sumsel punya tugas yang tidak ringan, terutama menempatkan diri sebagai bagian dari Pentahelix tersebut, dengan terus mendidik wartawan agar tidak hanya copy paste berita,” tegasnya.
Selain copy paste, Aufa yang pernah menjabat Pelaksana Harian Bupati Ogan Ilir (OI), Sumsel ini menyesalkan dengan sejumlah infomasi yang ditulis dengan struktur berita tidak jelas.
Menurut Aufa, membuat berita itu juga ada aturannya, ada strukturnya, mana kepalanya, mana tubuhnya, mana penutupnya.
“Seharusnya, wartawan bisa belajar dari karya atau tulisan wartawan lain yang lebih baik. Pelajari dengan seksama, bagaimana membuat lead berita, bagaimana membuat tubuh berita, sampai penutup berita. Ini kadang dak jelasm mano kepalanyo, mano tubuhnyo, sehngga berulang-ulang,” ujarnya.
Selama ini, Aufa masih sering menemukan tulisan berita yang berulang-ulang dan tidak jelas strukturnya. Seakan wartawan itu sudah kehabisan bahan untuk menulis berita, sehingga isinya berulang-ulang dan tidak terstruktur.
“Inilah tugas redaktur yang harus meramu dan mengemas berita menjadi berita yang baik, sesuai struktur penulisan berita, sehingga enak dibaca,” tambahnya.
Menurut Aufa, bila berita yang ditulis berdasar pada struktur berita yang baik akan mudah dipahami dan narasumber juga akan senang hati. Rasa senang ini, yang disebut Aufa bisa membuat narasumber empatik dan menambah jaringan bagi wartawan itu sendiri.
Sebab menjadi wartawan, menurut Aufa merupakan ruang yang sangat strategis untuk membuka wawasan diri, dan membuka jaringan dengan semua kelas sosial, sekaligus bisa membuat branding image diri wartawan menjadi banyak dikenal banyak orang.
Aufa mengakui, posisinya saat ini, juga tidak lepas dari efek dari tugasnya menjadi pembaca berita di TVRI Sumsel, di era 2000-an, sekaligus ikut serta dalam melakukan reportase. Dari perjalananannnya di TVRI ini, Aufa kemudian banyak dikenal orang, sekaligus memiliki jaringan di semua kelas, termasuk para pemegang kebijakan di Sumsel.
“Saya ini seperti sekarang juga karena bermula dari reporter dan pembaca berita di TVRI. Saya banyak dikenal orang, kemudian dipanggil jadi MC dangan harga profesional, dan sakarang umur sudah senior tidak jarang juga diminta menjadi juru bicara dalam lamaran pengantin, juga tetap dibayar! Makanya sampai kapanpun saya tidak pernah akan melupakan TVRI, sebab lembaga TVRI yang ikut mengantarkan saya seperti sekarang ini,” kisahnya.
Hal itu ia dapatkan, menurut Aufa, karena selama menjadi reporter dan pembaca berita di TVRI sering menjalin hubungan baik dengan semua mitra kerja. Jaringan ini yang dibangun menurut Aufa dengan memberi informasi yang baik kepada mitra (baik secara personal atau komunal). Tujuannya membantu menginformasi pesan dari lembaga atau sosok tokoh yang sedang menjadi obyek berita, tidak ada kepentingan lain.
“Hubungan baik antara wartawan dan mitra di lapangan dibangun bukan karena tujuan material, tetapi lebih kepada jalinan silaturahmi antara lembaga wartawan (perusahaan pers) dan wartawan secara pribadi,” tambahnya.
Sehingga melalui hubungan baik ini, para mitra akan mengetahui potensi lain yang dimiliki wartawan, selain menulis berita. Misalnya bisa menjadi MC, moderator, atau hal lain yang berkaitan langsung dengan dunia wartawan, seperti menulis buku, membuat media dan lainnya.
“Melalui jalinan atau hubungan baik dengan para mitra di lapangan, wartawan tidak perlu mengejar duit, tetapi dengan sendirinya, duit itu akan datang setelah wartawan berkarya dengan hasil yang berkualitas. Prinsipnya duit jangan dikejar tapi boleh dicari,” tegasnya.
Pada silaturahmi yang berlangsung di ruang kerja Kadisbudpar Sumsel ini, Aufa Syahrizal, S.P, M.Sc, didampingi, Cahyo Sulistiyaningsih, S.Sos, Kabid Kebudayaan Disbudpar Sumsel.
Sementara Pengurus IWO Sumsel, Efran (Ketua), didampingi, Surono, S.Pd (Wakil Ketua), Imron Supriyadi, S.Ag, M. Hum, (Sekretaris) dan Yuli Afriani (Bendahara).**
TEKS : AHMAD MAULANA | EDITOR : IMRON SUPRIYADI