Bernapas di Rumah Retak – Cerpen M Kahfi El Hakim
Sebuah cermin bagi keluarga Indonesia untuk introspeksi diri
Cerpen M Kahfi El Hakim
Namanya Rizki. Ia tinggal di sebuah komplek kelas menengah bersama kedua orang tuanya. Rizki, lahir sebagai anak sulung dari dua bersaudara. Rozi, nama adiknya. Dari sisi ekonomi, sudah diatas rata-rata. Tapi sayangnya, keluarga mereka, tidak pernah benar-benar akur—terutama kedua orang tuanya.
Secara normal, Rizki dan Rozi masih terlalu kecil untuk memahami kemelut keluarganya. Tapi takdir menentukan lain. Dua anak ini harus hidup dibawah atap, yang satu ketika akan menjadi ledakan, bila tak ada yang meredamnya .
Namun, kedua orang tuanya sangat rapat menyembunyikan konflik itu. Hingga, ketika Rizki masuk SD, orang tuanya menampakkan kasih sayang yang nyaris sempurna. Sehingga kedua anaknya tak berprasangka buruk apapun terhadap ayah dan ibunya.
Dalam keseharian, Rizki sering dinasihati, diberi uang jajan lebih. Bahkan Rizki seolah menjadi pusat perhatian. Namun tak ada yang tahu, perhatian itu perlahan berubah menjadi semacam pelarian. Rozi, yang masih di bawah umur usia sekolah, belum menangkap gejala api dalam sekam. Dia asyik dengan dunia-nya sendiri bersama teman-teman lain, yang sesekali datang ke rumahnya.
Saat Rizki lulus SD, ia dimasukkan ke pesantren. Kedua orang tuanya terlihat sangat bersemangat mengantarkan Rizki ke pondok. Tapi yang Rizki tidak tahu, justru saat itulah rumah tangga mereka mulai retak. Hanya Rozi, yang acap kali mendengar pertengkaran itu. Tapi sekali lagi, anak seusia Rozi yang masih duduk di bangku SD, terlalu jauh untuk bisa menjangkau riak dendam yang terpendam orang tuanya.
Setiap kali terdengar suara tinggi dari keduanya, Rozi memilih masuk kamar dan menutup telinga. Hatinya benar-benar teriris. Teriaknya selalu memanggil kakak-nya, dengan suara tertahan. Hanya air mata yang kemudian mengiringi tangisnya.
“Kak Rizki…Kak…tolong aku Kak. Aku takut Kak,” tangis Rozi dalam diam.
Sementara, di pesantren, Rizki menjalani hari-hari seperti biasa. Semua pelajaran dan aturan pondok dijalani tanpa beban. Namun, ketika datang jadwal kunjungan wali santri, Rizki sudah tak pernah lagi dijenguk orang tuanya. Kiriman uang jajan pun, makin jarang. Rizki hanya bisa menangis dalam hati yang terdalam, tak tahu apa yang sedang terjadi di rumah. Setiap datang hari kunjungan, di pojok pintu masjid, Rizki hanya menatap langit, siapa tahu akan ada angin yang mengirim bisikan hatinya ke rumah,dan berkata : ayah, ibu, di sini aku rindu. Mengapa sudah lama tak datang?
Tiga tahun berlalu. Rizki tumbuh menjadi remaja pendiam yang sabar. Ia pulang dari pondok dan memilih melanjutkan SMA di rumah—bukan karena rindunya pada ayah atau ibunya, tapi karena ia merasa waktunya kembali menjadi kakak untuk Rozi.
Namun kembalinya Rizki justru membuka luka yang selama ini tersembunyi. Kini ia mendengar sendiri—kata-kata kasar, bentakan, piring pecah, dan diam yang terlalu panjang untuk disebut damai. Rozi sering menangis di malam hari, tapi tak pernah meminta Rizki memeluknya. Mereka hanya duduk berdampingan, saling diam. Dua anak lelaki dalam rumah yang retak, mencoba tumbuh dalam reruntuhan. Puncaknya, pada suatu pagi:
“Kami akan bercerai!” kata ayah, di ruang tamu yang dingin. Tak ada suara selain Rozi yang terisak. Rizki menggenggam tangan adiknya, mencoba menariknya keluar rumah. Namun suara ayah memanggil tajam:
“Rizki! Kamu ikut siapa? Ayah atau Ibu?!” suara ayah meninggi.
Rozi buru-buru menjawab, “Aku ikut Ayah…” Rozi menyela spontan.
Mata Rizki menunduk. Ia tahu betul bagaimana adab kepada orang tua. Namun ada sesuatu dalam dirinya yang memberontak.
“Ayah… kata Pak Kiai di pesantren, kalau bingung memilih, kita shalat istikharah dulu. Jadi, izinkan saya belum bisa menjawab sekarang,” katanya rendah.
Jawaban itu membuat rumah menjadi hening. Lalu Rizki dan Rozi melangkah keluar.
Sore itu, sepulang sekolah, Rizki tak menemukan lagi ibunya di rumah.
“Ibu ke mana?” tanya Rizki heran.
Ayah menjawab singkat. “Tanya Rozi.”
“Ibu pergi, Kak… katanya cari tempat tinggal sendiri…” jawab Rozi sambil menunduk. Ekor mata Rozi seketika menguntit langkah kakaknya.
Malam itu, Rizki menangis di sajadahnya. Meminta arah. Menanyakan takdir. Ia merasa kehilangan sesuatu yang selama ini menjadi alas keberadaannya.
Pagi-pagi ia mencari ibunya di sekitar komplek, bertanya ke tetangga, ke warung langganan. Tak ada hasil. Tapi saat di pinggir jalan, ia melihat sosok yang ia kenal: sang ibu, memanggul karung plastik dan memegang ponsel lusuh.
“Bu… kenapa semua ini terjadi?” Rizki seolah tak sabar ingin tahu penyebab perceraian itu terjadi.
Ibunya hanya menggeleng. Dadanya penuh. Ada segumpal yang sedang ia rasakan.
“Panjang ceritanya, Nak… Tapi kamu nggak ikut Ayah, kan?” Ibunya memastikan.
“Sudah ada jawabannya. Aku ikut Ibu. Apa pun risikonya.”
Mereka pun pindah ke rumah sewa kecil di ujung komplek. Tak ada sofa, tak ada pendingin ruangan, hanya kasur gulung dan lampu 5 watt. Tapi di sana, Rizki merasa bisa bernapas. Ibunya membuka warung kecil. Rizki jadi kuli bangunan di masjid seberang untuk bantu biaya. Ia tetap sekolah, meski lelah, meski kulitnya menghitam, meski tulangnya sering ngilu saat duduk lama. Tapi semua itu Ikhlas ia dijalani.
Suatu malam, Rizki bertanya dengan suara pelan, “Bu… kenapa Ibu dan Ayah cerai?” Rizki masih penasaran.
Ibunya terdiam cukup lama, lalu berkata pelan;
“Ayahmu punya perempuan lain. Awalnya cuma teman kantor, katanya. Tapi makin dekat… makin sering pulang larut. Ibu bertahan, tapi akhirnya menyerah,” ujarnya pelan.
Rizki tak banyak bicara. Ia simpan semuanya di dalam gores detak jantungnya.
Beberapa hari kemudian, Rizki diam-diam mengunjungi rumah lama. Di sana, ia melihat ayahnya duduk dengan perempuan lain. Ada dua anak kecil di samping Rozi—adik tirinya, mungkin.
Rizki pulang, memutuskan tak pernah menceritakan itu pada ibunya. Sebab, Rizki paham, ini kabar ini akan kian menyayat hati ibunya.
Waktu bergulir seperti debu di halaman rumah. Rizki kini duduk di kelas dua SMA, dan ibunya jatuh sakit. Berat. Dokter bilang, komplikasi. Tubuh sang ibu melemah. Nafasnya pendek. Matanya sering kosong. Rizki mengambil keputusan: berhenti sekolah, merawat ibunya sepenuh waktu.
“Riz, kenapa kamu berhenti sekolah? kan tinggal setahun lagi,” tanya sang ibu dengan suara serak.
“Rizki ingin rawat Ibu. Itu saja.” Tangannya menggenggam erat jemari tangan ibunya.
Malam-malam penuh kantuk dan doa. Siang-siang penuh kerja dan cemas.
Sampai suatu malam, ibunya terkena stroke mendadak. Dilarikan ke rumah sakit. Rizki tak punya uang. Namun dokter berkata lembut, “Nak, semua biaya kami tanggung. Kami tahu kisah kalian.”
Beberapa hari kemudian, ibunya mengembuskan napas terakhir. Rizki memandikan jenazah ibunya, menyolatkan, dan mengantar ke liang lahat dengan air mata yang ditahan sedalam mungkin. Seminggu kemudian, Rizki kembali ke sekolah. Langkahnya gontai. Matanya kosong. Tapi semua itu harus ia jalani. Rizki dengan keyakinan, pasti Tuhan sedang punya rencana terindah. Inna-ma’al ‘usri yusro : beriring kesulitan selalu dibersamai kemudahan. Ayat itu yang menguatkan hati Rizki berhadapan dengan pergulatan hidup yang kian mendera.
Di koridor sempit sekolah, tiba-tiba Rozi datang menghampiri.
“Kak… Ibu sehat, kan?” tanya Rozi penasaran tentang kabar ibunya.
Rizki menunduk. “Ibu sudah meninggal dunia, Dik… minggu lalu.” Rozi tak berkata apa-apa. Hanya menangis dalam pelukan kakaknya.
Beberapa bulan kemudian, Rizki lulus. Kiai Ridwan dari masjid besar memanggilnya. Ia menyodorkan formulir beasiswa kuliah ke Mesir.
“Kamu punya dasar pesantren, Rizki. Daftar, ya. Saya yakin kamu bisa,” ujar Kiai Ridwan memberi semangat.
Rizki ragu. Tapi teringat pesan ibunya: “Teruskan sekolahmu, Nak. Jangan berhenti di tengah jalan.” Ia pun mendaftar. Lolos. Rizki berangkat ke Mesir.
Di sana, ia belajar keras. Mengingat wajah ibunya saat malam tiba. Membaca kitab sambil mengenang air mata Rozi. Menyusuri jalan-jalan Kairo dengan rindu yang tak bisa ia bagi ke siapa-siapa. Empat tahun kemudian, ia pulang. Gela Lc : Licentiate, sudah ia sandang. Tinggal mengejar S.2-nya ke Maroko yang belum kesampaian. Namun cita-cita itu disimpan dalam tahajut dan dhuha-nya setiap waktu: pagi dan malam. Tak cukup itu, demi sebuah cita-cita, Rizki melakukan tirakat puasa Senin dan Kamis, ditambah puasa weton; setiap hari kelahirannya.
Meski sudah lama di Mesir, tapi Rizki tak lupa dengan tradisi lama yang selalu ia lakukan. Hari pertama di rumah, ia menyapu halaman, mencuci motornya yang tua, dan menatap langit yang muram. Pagi itu, ia memutuskan membeli sarapan. Di jalan, ia melewati rumah ayah. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyelinap di bilik jantungnya—kerinduan yang getir. Arah hatinya ke rumah lama. Ia mengetuk pintu.
“Assalamu’alaikum…” pelan tapi pasti.
Rozi yang membukakan pintu. Matanya membulat, tak percaya.
“Wa’alaikum salam…” Rozi menatap dari ujung kaki sampai kepala.
“Kak Rizki?” meyakinkan dirinya kalau yang dilihat itu kakak kesayangannya.
Rizki mengangguk, tersenyum kecil. Matanya menyelidik ke dalam rumah. Seperti mencari sesuatu. Atau seseorang. Ia tahu, meski rumah itu tak lagi rumahnya, ia tetap bagian dari kisah yang retak di dalamnya. Ia datang bukan untuk mengulang luka, tapi untuk memaafkan. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Rizki bisa benar-benar bernapas.
Rizki masuk lebih dalam. Rumah itu sunyi. Tapi isi rumah tak banyak berubah. Hanya horden dan tata letaknya saja yang digeser. Nyaris, semua perabotan rumah masih yang lama. Pada sebuah ruangan, Rizki melihat ayahnya terbaring lemah. Rizki bediri sejenak. Matanya menatap sosok orang tua yang berada di kasur itu.
Tajam memandang laki-laki tua yang pernah menyakiti ibunya. Dalam detik awal, dada Rizki penuh kebencian. Tapi dipesantren Rizki sudah diajari bagaimana mengendalikan kebencian itu menjadi kecintaan ; Ahbib habibaka haunan ma, ‘asa an yakuna baghidlaka yauman ma : sebuah hadits yang artinya : Cintai kekasihmu (apa yang kau cintai) dengan sewajarnya, karena bisa jadi kamu akan membencinya suatu hari. Dan bencilah sesuatu itu yang wajar-wajar saja. Sebab suatu yang kamu benci, suatu ketika akan kamu mencintainya.
Di kamar yang dulu tempat Rizki dan Rozi bermain dengan ayahnya, kini menjadi pembaringan ayah yang tampak kian lemah. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat. Alisnya memutih. Pipinya mengeriput. Urat tangan ayah tampak menyembul liar di balik kulitnya.
Ketika melihat Rizki masuk, matanya memerah. Tak ada lagi wibawa di wajah itu, hanya penyesalan yang dalam. Semburat ronanya, menggambar kesalahan dalam. Tapi nasi telah menjadi bubur. Tak bisa jarum jam diputar ulang. Hanya sadar dan taubat yang bisa dilakukan.
“Rizki…” panggil sang ayah, suaranya serak. Rizki duduk di tepi ranjang, memegang tangan ayahnya. “Iya, Yah. Ini Rizky.”
Air mata turun pelan di pipi ayahnya.
“Maafkan Ayah, Nak… Ayah telah salah. Dulu… terlalu egois, terlalu keras kepala. Ayah pikir bisa memilih bahagia dengan cara Ayah sendiri,” sesalnya spontan.
Rizki diam. Ia tidak datang untuk menyalahkan. Tidak juga untuk menghakimi.
“Semua sudah terjadi, Yah. Tapi hidup masih berjalan. Sekarang biar aku yang bantu rawat Ayah.”
Hari-hari berikutnya Rizki tinggal beberapa waktu di rumah ayahnya, menemani Rozi dan mengurus segala keperluan. Ia membawa ayahnya ke rumah sakit, memberinya obat, menyuapinya makan. Perlahan, hubungan mereka mulai hangat kembali. Tidak seperti dulu, tapi cukup untuk menyembuhkan luka yang menganga selama bertahun-tahun.
Beberapa bulan kemudian, Rizki kembali mendapat kabar, ia diterima bekerja di salah satu lembaga pendidikan di Jakarta sebagai dosen muda, mengajar tentang Sejarah Kebudayaan Islam dan filsafat Islam. Ia pun pamit kepada ayah dan Rozi, tapi meninggalkan sebagian tabungannya untuk kebutuhan mereka.
“Rozi,” katanya suatu sore, “kalau kamu mau kuliah, bilang saja. Kakak akan bantu sebisanya.” Rozi mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Kak.”
Hari keberangkatan pun tiba. Rizki kembali menatap rumah yang penuh kenangan itu, tempat ia dulu menangis, tertawa, marah, dan kini memaafkan. Ia tahu, hidup tak akan pernah berjalan lurus.
Tapi setidaknya, ia telah belajar satu hal: bahwa cinta, dalam bentuk yang paling hening, bisa mengalahkan dendam, dan bahwa pulang bukan soal tempat, tapi soal keberanian untuk berdamai dengan luka.
Motor Vario-nya menderum pelan. Dengan satu tas di punggung dan doa di dadanya, Rizki melaju meninggalkan kampung. Di spion motornya, samar-samar ia melihat sosok Rozi melambai dari depan rumah. Ia balas melambaikan tangan, lalu tersenyum.
Di tengah kesibukannya sebagai dosen, Rizki masih rutin menelpon Rozi, untuk memastikan kondisi ayahnya. Sebab sejak keluar dari rumah sakit, ayah masih memerlukan rawat jalan. Semua butuh biaya. Hasil kerjanya, harus ia sisihkan untuk pembelian obat ayahnya.
“Kak, aku diterima bekerja di perusahaan. Bagaiman saran kakak?” Rozi mengabarkan tes yang sudah dua bulan ia lupakan, ternyata berbuah manis. Tapi dilema melanda. Satu sisi, Rozi harus tetap merawat ayahnya. Sisi lain, Rozi juga harus bekerja, guna membantu kakaknya membeli obat untuk ayah. Belum lagi, perjalanan Rozi masih panjang menuju masa depan. Itu semua wajib ia persiapkan.
“Shalat Istiharoh dulu, Dik,” ujarnya pelan melalui telepon.
“Iya, Kak,” Rozi tak membantah.
Satu pekan berlalu, Rozi kini sudah sibuk dengan segala kegiatannya di kantor swasta. Untung jarak kantor dengan rumahnya, hanya sekitar 5 kilo meter. Ini memudahkan Rozi, memafaatkan waktu istirahat kantor untuk mennyempatkan pulang sesaat, menengok ayahnya.
Hari-hari berlalu. Kesehatan sang ayah mulai membaik, dan Rozi start kembali menata ulang impiannya yang sempat tertunda. Sementara itu, Rizki kembali menekuni dunia akademik. Ia mendaftar beasiswa S.2 ke Maroko—impian lamanya dulu terhenti karena konflik dan luka keluarga.
Tak ada yang menyangka. Di tengah kesibukan merawat ayah dan menjaga Rozi, Rizki justru berhasil menulis esai yang membuka jalan baginya. Ia dinyatakan lulus sebagai salah satu penerima beasiswa penuh. Saat menerima kabar itu, ayahnya menunduk lama. Tangannya menggenggam tangan Rizki erat.
“Ayah bangga padamu, Nak,” katanya lirih.
Rizki hanya tersenyum. Tak perlu ucapan panjang, karena ia tahu, semua luka masa lalu telah pelan-pelan luruh.
Satu bulan lagi, Rizki berangkat. Smentara, proses pengobatan ayah tak bisa terhenti di tengah jalan. Tapi obat kimia selalu ada efek. Satu penyakit sembuh, lainnya diserang. Ini yang terjadi pada ayah.
Meski pengobatan terus diupayakan, kondisi ayah perlahan menurun. Rozi dan Rizki menjaga ayahnya sepenuh hati. Mereka tak lagi mempersoalkan masa lalu. Tak ada dendam, hanya ada pengabdian.
Pada suatu subuh yang tenang, sang ayah menghembuskan napas terakhir di pangkuan mereka. Tak ada tangis histeris, hanya hening dan peluk panjang antara dua anak yang kini benar-benar saling menguatkan.
“Ayah sudah damai,” bisik Rizki, menatap wajah jenazah yang tenang.
Setelah pemakaman, hanya mereka berdua yang tinggal di rumah sederhana itu. Sunyi, tapi penuh kenangan. Rozi mulai memantapkan kembali dengan pekerjaan yang baru di kota. Smentara Rizki, fokus mengejar beasiswa S.2-nya yang sebentar lagi akan tiba saatnya.
Tak lama, kabar baik datang bersamaan. Rozi dapat promosi dari perusahaan naik jabatan, dari staf menjadi manager marketing di kantor percetakan buku Islam di kota. Dan Rizki—berkat esai ilmiahnya tentang moderasi beragama dan harmoni keluarga—resmi berangkat ke Maroko.
“Berangkatlah, Kak,” kata Rozi saat melepas Rizki di bandara. “Aku nggak sendiri. Aku kuat sekarang. Giliran Kakak wujudkan mimpi.”
Rizki memeluk adiknya erat. “Jaga salat. Jaga hati.”
Rozi tersenyum. “Dan jaga pesan Ayah: jangan pernah pulang sebagai orang asing.”
Empat tahun kemudian. Sore yang cerah di halaman pesantren tempat dulu Rizki belajar. Ia kembali—bukan sebagai santri, tapi sudah menjadi pengajar tetap. Banyak hal berubah, namun wajah-wajah para santri muda mengingatkannya pada semangat masa lalu.
Ia kini menjadi bagian dari keluarga besar pesantren. Tak lama setelah kembali dari Maroko, ia dinikahkan dengan Zumrotul Islamiyah, putri sang kiai pengasuh pondok—seorang perempuan lembut—penghafal Al-Quran 30 juz–yang sering ia kagumi diam-diam sejak dulu.
Kini, bersama Zumrotul, istrinya, Rizki mengelola pesantren dengan pendekatan yang tenang dan mendalam. Ia mengajar tafsir, menulis buku kecil tentang hikmah perjalanan, dan kadang berbagi kisah hidupnya pada para santri yang sedang resah mencari arah.
Setiap kali mengingat ayahnya, ia tersenyum. Sesekali wajah ibunya juga melintas. “Alfatihah,” bisiknya lirih mendoakan keduanya.
“Ma,” kata Rizki pada istrinya suatu malam, “Aku ingin anak-anak di sini tumbuh tanpa perlu terluka seperti aku dulu. Tapi kalaupun mereka pernah terluka, semoga luka itu bisa jadi jalan pulang.”
Dan malam itu, di beranda rumah kecilnya di sudut pesantren, dengan cahaya bintang menggantung di langit, Rizki tahu: ia telah sampai.**
Ma’had Al-Fath-Talang Keramat, 2022.
*) Penulis adalah Santri kelas III Mts, Ma’had Al-Fath Banyuasin-Sumsel, tinggal di Muaraenim