Air Sudah Lelah Bicara : Palembang Harus Mendengar

Mari jujur, banjir di Palembang bukan semata karena air, tapi karena mental

0 1

Oleh Imron Supriyadi, Jurnalis

Palembang, kota seribu sungai. Tapi sekarang lebih pantas disebut kota sejuta genangan. Dulu air adalah berkah, kini jadi musibah. Setiap hujan datang, warga bukan menengadah doa, tapi cemas. Kita bukan tak punya ahli. Prof. Chay Asdak, Prof. Suratman, dan Prof. Ketut Prasetyo sudah lama mengingatkan: banjir itu soal manusia, bukan cuma hujan.

Palembang punya ahli banjir di Universitas Sriwijaya (Unsri) Dr. Momon Sodik Imanudin. Palembang punya dosen-dosen lain di Jurusan Teknik Sipil diantaranya , Rhaptyalyani, ST, M.Eng., Ph.D.

Mari jujur, banjir di Palembang bukan semata karena air, tapi karena mental. Karena sampah dibuang sembarangan, sungai disumbat egoisme, drainase disesaki kerak kerakusan. Kalau saja Pemkot serius, setiap rumah diberi tempat sampah organik dan plastik. Lalu didorong warga mengolah sampah jadi pupuk dan kerajinan. Plastik dijadikan kursi, sisir, ember—siapa bilang rakyat tak bisa kaya dari limbah?

Bukankah taman, lapangan, bahkan halaman Polda bisa disulap jadi kolam retensi? Akan lahir lapagan upacara apung. Bukit Siguntang yang sakral itu pun bisa jadi danau pemancingan yang menyelamatkan kota. Tapi perlu keberanian: membongkar bangunan serobot saluran, merelokasi warga di titik merah banjir, bahkan kalau perlu tukar guling lahan lintas wilayah.

Masalahnya bukan tak ada solusi. Tapi seringkali yang tak ada adalah niat. Political will, kata para profesor. Kolaborasi antarinstansi, kata orang teknokrat. Tapi saya katakan: kemauan mencintai rakyat, itu yang langka. Karena banjir bukan hanya menenggelamkan rumah, tapi juga martabat pengelola kota.

Jadi, Palembang tak butuh sekadar alat berat, tapi hati yang tidak berat memikirkan rakyat. Palembang tidak cukup hanya mengandalkan teknologi fisik seperti alat berat untuk mengatasi banjir. Yang jauh lebih penting adalah kesungguhan hati, empati, dan komitmen moral para pemimpin dan warga dalam menyelesaikan masalah banjir dan lingkungan secara menyeluruh.

Dengan kata lain, solusi teknis tanpa niat tulus dan keberpihakan kepada rakyat tidak akan cukup. Dibutuhkan pemimpin yang benar-benar “tidak berat hati” untuk peduli, dan dibutuhkan birokrasi dan rakyat yang “tidak berat tangan” memeritahkan tangga dan hatinya untuk bergerak.

Palembang tidak kekurangan hujan, tapi kekurangan budaya tata kelola. Sungai dan danau bukanlah musuh, melainkan sahabat yang selama ini kita lukai. Kita bangun kota dengan menutup resapan, menebang pohon, dan menganggap air hanya layak disalurkan, bukan dirangkul. Seperti kata Prof. Suratman, “Tata air adalah tata nilai.” Kalau nilai-nilai masyarakatnya rusak, air pun memberontak.

Mari kita bayangkan ulang Palembang: Setiap gang punya lubang biopori, setiap RT punya kolam penampung hujan. Sampah jadi emas, bukan musibah. Warga tidak buang plastik sembarangan karena mereka tahu, dari situlah kursi, ember, dan nafkah mereka berasal. Pemerintah tidak cuma rapat dan seminar, tapi turun tangan membuat pabrik daur ulang, taman retensi, dan relokasi manusia dengan cinta, bukan gusur paksa.

Seperti kata Prof. Chay Asdak, penanganan banjir itu bukan proyek, tapi proses membangun sistem. Dan sistem hanya hidup jika dijalankan oleh hati, bukan hanya otak. Palembang harus belajar mengalir bersama air, bukan memaksa air menuruti ambisi pembangunan yang timpang.

Ini bukan soal dana, tapi kesadaran. Banjir adalah cermin: apakah kita benar-benar mengurus kota ini, atau sekadar menjadikannya ladang proyek? Apakah pejabat masih bisa tidur di balik rapat, sementara rakyat berkubang dalam air dan harapan?

Kalau kita sungguh cinta Palembang, ayo mulai dari yang kecil: buang sampah di tempatnya, resapi air hujan, pelihara sungai, dan tanamkan pada anak cucu: air adalah kehidupan, bukan kutukan. Maka Palembang tak akan jadi kota banjir lagi. Tapi kota peradaban yang belajar dari air, bukan melawannya. Karena air selalu mencari jalan pulang. Pertanyaannya, kita mau ikut mengalir bersama, atau terus terhanyut oleh kelalaian kita sendiri?

Dimensi Ekonomi Warga

Air memang tak bisa ditahan, tapi kemiskinan bisa dicegah. Dan jangan salah, banjir dan kemiskinan itu kerap bersaudara. Di Palembang, warga yang paling dulu tergenang justru mereka yang hidup paling rendah—secara geografis maupun ekonomi. Maka solusi banjir tak boleh hanya soal saluran dan retensi, tapi juga soal perut dan pendapatan.

Coba bayangkan, kalau setiap rumah tangga diberi alat sederhana untuk mengolah sampah organik jadi kompos. Pupuk ini bisa digunakan untuk menanam sayur di halaman, atau dijual ke pasar. Kalau skala rumah tangga ini dikoordinasikan oleh RT atau kelurahan, maka kita tak hanya mengurangi sampah, tapi juga menciptakan sumber ekonomi lokal. Warga bisa menanam, memupuk, lalu memanen hasilnya sendiri.

Sementara sampah plastik—yang selama ini jadi tersangka utama penyumbat saluran air—bisa diolah menjadi beras plastik, bahan dasar cetakan ember, sandal, sisir, bahkan bahan bangunan ringan. Kalau Pemkot berani, bisa dibentuk koperasi daur ulang. Warga tak cuma menyerahkan plastik, tapi juga diajak jadi pemilik hasil produksinya. Kursi dari plastik warga, dipakai di rumah tangga warga, lalu hasil labanya kembali ke warga. Ini ekonomi sirkular, bukan sekadar proyek daur ulang.

Prof. Ketut Prasetyo pernah bilang: ekologi dan ekonomi itu saudara kembar. Kalau kita serius mengelola sampah dan air, kita sedang membuka lapangan kerja, bukan cuma menutup lubang banjir. Maka ketika Pemkot berpikir membuat pabrik plastik daur ulang, itu bukan mimpi muluk. Justru di sanalah letak kemandirian. Daripada tergantung impor barang plastik, mengapa tidak dari hasil daur ulang kampung sendiri?

Yang kita butuhkan hanya keberanian merancang sistem yang memberi ruang bagi rakyat kecil untuk ikut dalam roda perbaikan lingkungan. Maka banjir bukan lagi bencana, tapi awal kebangkitan ekonomi. Karena Palembang tidak hanya butuh tanggul dan kanal, tapi juga peluang usaha yang bermuara dari kesadaran mencintai bumi.

Kalau air kita kelola, sampah kita olah, dan warga kita libatkan, maka bukan hanya banjir yang reda. Tapi derajat kehidupan pun ikut terangkat. Sebab air yang baik tidak hanya membersihkan tanah, tapi juga menghidupkan harapan.

 Lapangan Upara Apung?

Mari kita tengok ruang-ruang luas di Palembang yang selama ini hanya jadi tempat upacara dan parkir mobil dinas. Halaman Polda Sumsel, misalnya. Alih-alih jadi lahan kosong yang panas menyilaukan, kenapa tidak disulap menjadi danau buatan? Bayangkan kolam retensi luas di sana, lengkap dengan taman-taman kecil, parkir terapung, dan lapangan upacara di atas pelataran beton ringan yang berdiri di atas air. Seremonial tetap jalan, air pun tertampung, keindahan kota pun tumbuh.

Begitu juga halaman Pemprov Sumsel. Lahan luas yang setiap harinya menjadi lahan parker. Sementara genangan air nyaris melingkari perkantoran. Musim hujan berubah jadi genangan. Mengapa tidak kita mulai pikirkan adanya direkayasa sebagai taman air—kolam retensi berdesain estetis, tempat parkir di atas pelampung atau jembatan beton, dihiasi tanaman air dan jalur pedestrian untuk publik. Bukannya menolak air, tapi mengundangnya masuk dengan cara yang indah dan cerdas. Inilah urban water culture. Kota tak perlu melawan air, cukup bersahabat dengannya.

Solusi seperti ini sudah diterapkan di banyak kota dunia—di Rotterdam, Tokyo, hingga Bangkok. Kenapa Palembang tidak bisa? Bukan karena tak ada uang, tapi karena belum ada kehendak.

Air Bukan Musuh

Saatnya Pemkot dan Pemprov melihat air bukan musuh, melainkan potensi. Melibatkan warga dalam pengelolaan sampah, mengubah halaman-halaman resmi jadi kolam retensi multifungsi, dan membuka industri ekonomi sirkular berbasis daur ulang. Bukan hanya solusi teknis, tapi juga etika kota—yang menempatkan manusia, air, dan bumi dalam satu simpul harmoni.

Sebab dalam setiap banjir, Tuhan seolah bertanya: “Apakah kalian masih ingin belajar, atau terus tenggelam dalam kebiasaan lama?” Maka jawabannya bukan pada curah hujan, tapi pada kemauan berubah.

 Revolusi Kultur dan Ekonomi Sampah

Namun semua itu hanya mungkin jika kita, warga Palembang, mau melakukan revolusi kecil di rumah sendiri. Mari hentikan kebiasaan membuang sampah sembarangan—di selokan, di jalan, di sungai Musi yang kita cintai. Mulailah memilah: mana sampah organik, mana non-organik. Jangan tunggu petugas datang, jangan tunggu banjir merendam kaki. Kebiasaan kecil ini adalah fondasi peradaban baru yang lebih bersih dan berdaya.

Tapi warga tak bisa sendiri. Pemkot Palembang wajib hadir bukan hanya dengan imbauan, tapi juga infrastruktur: siapkan lembaga penampung sampah organik dan non-organik di tiap kelurahan atau RW. Lembaga ini bukan hanya menampung, tapi mengolah—menjadi kompos, pupuk cair bersertifikasi, perabot rumah tangga dari daur ulang, hingga bahan baku industri kecil. Di sinilah ekonomi rakyat bertumbuh: warga tak sekadar buang sampah, tapi setor bahan baku produksi.

Kultur baru ini tidak hanya menyelamatkan kota dari banjir, tapi juga dari kemiskinan. Dan ketika hasil olahan sampah ini dijual ke pasar, diekspor, atau dimanfaatkan oleh kota sendiri, maka tak hanya pendapatan warga yang naik—tetapi juga Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemkot Palembang.

Sebuah gotong royong modern antara rakyat dan pemerintah. Jadi mari kita mulai dari rumah sendiri, dari kebiasaan sehari-hari. Karena Palembang bukan hanya butuh tanggul dan pompa, tapi warga yang sadar, dan pemerintah yang tegas serta visioner. Banjir bisa dicegah, kalau kita semua bersedia berubah.**

 Berikut 10 asumsi strategis yang menjadi basis kajian untuk perumusan tindakan konkret:

NoAsumsi StrategisTujuan
1Tempat sampah rumah tangga organik dan non-organikMendorong pemilahan sejak sumber
2Pengolahan sampah organik menjadi kompos dan pupukReduksi volume sampah dan nilai ekonomi
3Daur ulang plastik menjadi bahan bernilai ekonomi (beras plastik, furnitur plastik)Pemberdayaan ekonomi sirkular
4Pendirian pabrik daur ulang (ember, kursi, sandal) berbasis plastik lokalIndustrialisasi ramah lingkungan lokal
5Penampungan sampah terpusat per wilayah (TPS3R / bank sampah)Rantai distribusi dan pengumpulan terkontrol
6Perubahan kultur warga soal sampah sebagai bagian dari edukasi lingkunganPencegahan hulu terhadap banjir
7Pembuatan kolam retensi dan danau buatan di titik genanganManajemen air berbasis ekosistem
8Relokasi atau tukar guling pemukiman di daerah rawan banjirAdaptasi ruang dan keselamatan warga
9Pembongkaran bangunan yang menghambat saluran airRestorasi sistem drainase alami
10Political will dan kolaborasi lintas sektor dalam penanggulangan banjirPemerintahan transformatif & terintegrasi

Rekomendasi Tindakan Konkret

NoRekomendasiPenanggung Jawab
1Wajib pilah sampah di setiap rumahDinas Lingkungan Hidup
2Bangun 10 kolam retensi baruDinas PU, Bappeda
3Fasilitasi relokasi 3 titik permukimanDinas Perkim, Satpol PP
4Bentuk bank sampah di tiap kelurahanKecamatan, Kelurahan
5Bongkar bangunan ilegal di drainaseDinas PU, Satpol PP
6Rancang pabrik daur ulang plastik kotaBUMD, Swasta
7Edukasi publik 1000 warga per bulanDinas Kominfo & DLH
8Bentuk Tim Terpadu Banjir KotaWalikota, DPRD, NGO

 

Muaraenim- Palembang, 19 Maret 2025

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.